Advertisement

Kamis, 28 Januari 2016

Paket Wisata Alam Murah di Bandung, Objek wisata alam dibandung memilikisatu asal usul yang sama dancukup istimewa karna setiap objek wisata memilki hubungan dan saling begantung akan untuk menjaga keberadaannya, selain itu Bandung Paris Van java ya bisa dibilang Bandung merupakan kiblat fashion di Indonesia, selain itu bandung disebut juga Kota kembang melihat banyak istilah yang digunakan untuk kota Bandung, mengapa kita tidak tengok sejarah pembentukan kota kita ini. Kalo bicara Pembentukan Bandung kita akan bicara sebuah legenda,legenda Sangkuriang dan Ibunya Dayang sumbi, mungkin ini yang dibilang tak ada rotan akar pun jadi sangat cocok untuk menggambarkan bagaimana masyarakat mencatat sebuah kejadian kedalam objek yang berbeda ketika belum ditemukannya tenik menulis. Mari kita simak dulu ceritanya. Alkisah, di daerah Jawa Barat, ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Sungging Perbangkara. Ia sangat gemar berburu binatang di hutan. Suatu hari, seusai berburu, Prabu Sungging membuang air kecil (pipis) pada daun caring (keladi hutan). Saat ia meninggalkan tempatnya buang air kecil, tiba-tiba seekor babi yang bernama Wayungyang datang meminum air seninya yang tergenang di daun keladi itu. Rupanya air seni Prabu Sungging mengandung sperma sehingga menyebabkan Wayungyang hamil. Beberapa bulan kemudian, Wayungyang pun melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik jelita. Setelah membersihkan tubuh bayi itu dengan menjilatnya, Wayungyang meletakkannya di atas batu besar di balik semak-semak, dengan harapan ayahnya (Prabu Sungging) akan menemukannya. Ternyata harapan Wayungyang tercapai. Tak berapa lama setelah ia meninggalkan bayi itu, Prabu Sungging lewat di tempat itu dan mendengar ada suara tangisan bayi dari arah semak-semak. Dengan hati-hati, Prabu Sungging berjalan perlahan-lahan mendekati sumber suara itu dan mendapati seorang bayi perempuan mungil dan berparas cantik tergeletak di atas sebuah batu besar. Tanpa berpikir panjang, ia pun membawa pulang bayi itu ke istana. Sang Prabu memberinya nama Dayang Sumbi. Ia merawat dan membesarkan Dayang Sumbi dengan penuh kasih sayang. Waktu terus berjalan. Dayang Sumbi tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita. Selain cantik, ia juga sangat mahir menenun dan pandai memasak. Tak heran jika para raja dan pangeran silih berganti datang melamarnya. Namun, tak satu pun lamaran yang diterimanya. Ia tidak ingin terjadi pertumpahan darah di antara para raja dan pangeran tersebut dengan hanya menerima salah satu pinangan dari mereka. Akhirnya, dengan restu sang Prabu, Dayang Sumbi mengasingkan diri ke sebuah hutan lebat yang terletak jauh dari istana. Sang Prabu membuatkannya sebuah pondok di pinggir hutan dan menyiapkan alat-alat tenun kesukaannnya. Di pondok itulah, Dayang Sumbi menghabiskan waktunya sambil menenun kain. Pada suatu malam, ketika Dayang Sumbi sedang menenun kain, tiba-tiba segulungan benangnya terjatuh dan berguling ke luar pondoknya. Karena malam sudah larut, ia merasa takut untuk mengambil gulungan kain itu. Tanpa disadarinya tiba-tiba terlontar ucapan dari mulutnya. “Siapapun yang mau mengambilkan benang itu untukku, jika dia perempuan akan kujadikan saudara, dan jika dia laki-laki akan kujadikan suamiku,” ucapnya. Tanpa diduga sebelumnya, tiba-tiba seekor anjing jantan berwarna hitam datang menghampirinya sambil membawa gulungan benang miliknya. Namun, apa hendak dikata, ia sudah terlanjur berucap. Ia harus menepati janjinya. “Baiklah, Anjing. Aku akan mempertanggung jawabkan ucapanku. Meskipun kamu seekor anjing, aku tetap bersedia menjadi istrimu,” kata Dayang Sumbi. Mendengar perkataan Dayang Sumbi, anjing hitam itu tiba-tiba menjelma menjadi seorang pemuda yang sangat tampan. Dayang Sumbi sangat terkejut dan heran menyaksikan kejadian itu. “Hei, kamu siapa dan dari mana asal-asulmu?” tanya Dayang Sumbi penasaran. “Maaf, Tuan Putri! Saya adalah titisan Dewa,” jawab pemuda itu. Akhirnya, Dayang Sumbi dan pemuda tampan itu saling jatuh dan menikah. Keduanya bersepakat untuk merahasiakan hubungan mereka kepada siapa pun, termasuk kepada Prabu Sungging Perbangkara. Sejak saat itu, ke mana pun Dayang Sumbi pergi, ia selalu ditemani oleh suaminya. Dayang Sumbi memanggilnya dengan si Tumang. Setelah setahun menikah, mereka pun dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan. Mereka memberinya nama Sangkuriang. Beberapa tahun kemudian, Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang rajin dan pandai. Setiap hari, ia ditemani si Tumang pergi ke hutan untuk berburu rusa dan mencari ikan di sungai. Namun, ia tidak menyadari bahwa anjing yang selalu menenaminya itu adalah ayah kandungnya sendiri. Pada suatu hari, Sangkuriang pergi berburu rusa ke tengah hutan. Hari itu, ia sangat berharap bisa mendapatkan hati seekor rusa untuk dipersembahkan kepada ibunya. Sudah hampir seharian ia berburu, namun tak seekor binatang buruan pun yang menampakkan diri. Sangkuriang pun mulai kesal dan memutuskan untuk berhenti berburu. Ketika akan pulang ke pondoknya, tiba-tiba seekor rusa berlari melintas di depannya. Ia pun segera memerintahkan si Tumang untuk mengejarnya. “Tumang! Ayo kejar rusa itu!” seru Sangkuriang. Beberapa kali Sangkuriang berteriak menyuruhnya, namun si Tumang tetap tidak beranjak dari tempatnya. Ia pun semakin kesal melihat kelakuan si Tumang. “Hei, Tumang! Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu tidak mau menuruti perintahku?” bentak Sangkuriang sambil mengancam si Tumang dengan panahnya. Tanpa disadarinya, tiba-tiba anak panahnya terlepas dari busurnya dan tepat mengenai kepala si Tumang. Anjing itu pun tewas seketika. Sangkuriang kemudian mengambil hati si Tumang untuk dipersembahkan kepada ibunya. Sesampainya di pondok, ia menyerahkan hati itu kepada ibunya untuk dimasak. Setelah menyantap hati itu, tiba-tiba Dayang Sumbi teringat pada si Tumang. Ia pun menanyakan keberadaan si Tumang. “Mana si Tumang? Bukankah tadi dia pergi bersamamu?” tanya Dayang Sumbi dengan cemas. “Maaf, Bu! Saya telah membunuhnya. Hati yang ibu makan itu adalah hati si Tumang,” jawab Sangkuriang dengan tenang, tanpa merasa bersalah sedikit pun. Seketika itu pula Dayang Sumbi menjadi murka. Ia sangat marah karena Sangkuriang telah membunuh ayah kandungnya sendiri. “Apa katamu? Kamu telah membunuhnya? Dasar anak tidak tahu diri!” seru Dayang Sumbi seraya memukul kepala Sangkuriang dengan sendok nasi hingga berdarah dan meninggalkan bekas. Sambil menangis tersedu-sedu, Sangkuriang berusaha untuk membela diri. Ia merasa bahwa dirinya tidak bersalah. Ia melakukan semua itu tidak lain hanya untuk menyenangkan hati ibunya. Akan tetapi, Dayang Sumbi menganggap dia telah melakukan kesalahan besar, karena membunuh ayah kandungnya sendiri. Namun, Dayang Sumbi tidak mau menceritakan hal itu kepada Sangkuriang, karena takut rahasianya terbongkar. Merasa ibunya tidak lagi sayang kepadanya, Sangkuriang pun pergi mengembara dengan menyusuri hutan belantara. Sejak itu, Dayang Sumbi selalu duduk termenung. Ia merasa sangat menyesal telah memukul dan membiarkan putranya pergi meninggalkannya. Setiap malam ia berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar ia dapat bertemu kembali dengan putranya. Berkat ketekunannya, Tuhan pun mengambulkan doanya. Tuhan memberinya kecantikan yang abadi agar wajahnya tidak berubah termakan oleh usia, sehingga putranya masih dapat mengenalinya. Sementara itu di di tengah hutan belantara, Sangkuriang berjalan sempoyongan sambil memegang kepalanya yang terluka. Karena tidak kuat lagi menahan rasa sakit, akhirnya ia jatuh pingsan. Cukup lama ia tidak sadarkan diri. Betapa terkejutnya ketika ia tersadar. Ia melihat seorang tua laki-laki yang tidak pernah ia lihat sebelumnya sedang duduk di sampingnya. “Kakek siapa? Aku ada di mana?” tanya Sangkuriang heran. “Tenanglah, Anak Muda! Kakek adalah seorang pertapa. Nama Kakek Ki Ageng. Kakek menemukanmu sedang pingsan dan terluka parah di tengah hutan. Kamu sekarang berada di dalam gua tempat Kakek bertapa,” jawab orang tua itu. Kemudian Ki Ageng menanyakan tentang asal-usul Sangkuriang. Namun, Sangkuriang tidak bisa lagi mengingat masa lalunya. Bahkan namanya sendiri pun ia lupa. Akhirnya, Ki Ageng memanggilnya Jaka. Ki Ageng merawat Jaka sampai lukanya sembuh dan mengajarinya ilmu bela diri dan kesaktian. Setelah beberapa tahun berguru kepada Ki Ageng, Sangkuriang pun tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan sakti mandraguna. Dengan kesaktiannya, ia dapat memanggil serta memerintahkan makhluk-makhluk halus. Pada suatu hari, Jaka meminta izin kepada gurunya untuk pergi mencari tahu masa lalunya. Setelah mendapat restu dari Ki Ageng, berangkatlah ia menyurusi hutan. Ia berjalan mengikuti ke mana pun kakinya melangkah hingga akhirnya menemukan sebuah gubuk di tepi hutan. Karena merasa sangat haus, ia pun mampir di pondok itu untuk meminta air minum. Rupanya, penghuni pondok itu adalah seorang wanita cantik jelita yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Saat pertama kali melihat wajah wanita itu, Jaka tiba-tiba teringat kepada ibunya. Namun, ia tidak yakin kalau wanita itu adalah ibunya, karena sudah sekian lama mereka berpisah dan tentu wajahnya tidak akan secantik itu. Begitupula Dayang Sumbi, ia tidak pernah mengira kalau Jaka itu adalah putranya. Akhirnya, keduanya pun saling jatuh cinta dan bersepakat untuk menikah. Keesokan harinya, saat akan berangkat berburu ke hutan, Jaka meminta calon istrinya untuk mengencangkan dan merapikan ikat kepalanya. Betapa terkejutnya Dayang Sumbi ketika sedang merapikan ikat kepala Jaka. Ia melihat ada bekas luka di kepala Jaka. Bekas luka itu mirip dengan bekas luka yang ada di kepala putranya yang terkena pukulannya dua puluh tahun yang lalu. Dayang Sumbi pun menanyakan tentang penyebab bekas luka itu kepada Jaka. “Kenapa ada bekas luka di kepalamu, Jaka?” tanya Dayang Sumbi. Jaka tidak bisa mengingat penyebab bekas luka yang ada di kepalanya. Ia hanya menceritakan kepada Dayang Sumbi bahwa ada seorang pertapa menemukan dirinya sedang pingsan dan terluka parah di tengah hutan. Mendengar cerita itu, maka yakinlah Dayang Sumbi bahwa calon suaminya itu adalah putranya sendiri, Sangkuriang. Dayang Sumbi pun bingung. Ia tidak mungkin menikah dengan putranya sendiri. Ia berusaha untuk meyakinkan Sangkuriang bahwa dia adalah putranya. Untuk itu, ia meminta kepada putranya agar membatalkan pernikahan mereka. Namun, Sangkuriang tidak percaya pada kata-kata ibunya. Hatinya sudah terbelenggu oleh rasa cinta dan bersikeras ingin menikahi Dayang Sumbi. Melihat sikap putranya itu, Dayang Sumbi semakin bingung dan ketakutan. Setiap hari ia berpikir untuk mencari cara agar pernikahan mereka dibatalkan. Setelah berpikir keras, akhirnya ia pun menemukan sebuah cara. Ia akan mengajukan dua syarat kepada Sangkuriang. Jika kedua syarat tersebut dapat dipenuhi oleh Sangkuriang, maka ia akan menikah dengannya. Sebaliknya, jika Sangkuriang gagal, maka pernikahan mereka pun dibatalkan. Suatu malam, Dayang Sumbi menyampaikan kedua syarat itu kepada Sangkuriang. “Jika kamu bersikeras ingin menikahiku, kamu harus memenuhi dua syarat,” kata Dayang Sumbi. “Apakah syaratmu itu, Dayang Sumbi? Katakanlah!” desak Sangkuriang. “Kamu harus membuatkan aku sebuah danau dan sebuah perahu. Tapi, danau dan perahu itu harus selesai sebelum fajar menyingsing di ufuk timur,” jawab Dayang Sumbi. “Baiklah, Dayang Sumbi! Saya menyanggupi semua syaratmu,” jawab Sangkuriang dengan penuh keyakinan. Dengan kekuatan cinta dan kesaktiannya, Sangkuriang pun segera memanggil dan mengerahkan seluruh pasukannya yang berupa makhluk-makhluk halus untuk membantu menyelesaikan tugasnya. Setelah pasukannya siap, mereka pun menggali tanah dan menyusun batu-batu besar untuk membendung aliran air Sungai Citarum sehingga membentuk sebuah danau. Kemudian mereka menebang kayu-kayu besar untuk dibuat perahu. Saat tengah malam, Dayang Sumbi secara diam-diam mengintai pekerjaan Sangkuriang dan pasukannya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat mereka hampir menyelesaikan semua permintaannya. Dayang Sumbi pun gusar. Ia segera berlari ke desa terdekat untuk meminta bantuan kepada masyarakat agar menggelar kain sutra berwarna merah di arah sebelah timur tempat Sangkuriang dan pasukannya bekerja. Tak berapa lama setelah kain sutra hasil tenunan Dayang Sumbi digelar, tampaklah cahaya berwarna kemerahan di arah timur sehingga seolah-olah hari sudah pagi. Ayam jantan pun mulai berkokok saling bersahut-sahutan. Para makhlus halus yang melihat cahaya merah dan mendengar suara ayam berkokok mengira hari sudah pagi. Mereka pun segera melarikan diri dan meninggalkan perahu yang hampir selesai. Saat mengetahui dirinya diperdaya oleh Dayang Sumbi, Sangkuriang menjadi murka. Dengan kesaktiannya, ia menjembol bendungan yang sudah dibuat bersama pasukannya, sehingga terjadilah banjir besar. Kemudian ia menendang perahu yang hampir selesai hingga terbang melayang dan jatuh menelungkup. Konon, perahu itu kemudian menjelma menjadi sebuah gunung yang kini dikenal dengan nama Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban perahu dalam bahasa Sunda berarti perahu yang terbalik. Nah mari kita tengok hasil risetnya. Tahun 90-an, Dam dan Suparan (1992) dari Direktorat Tata Lingkungan Departemen Pertambangan mengungkapkan sejarah geologi dataran tinggi Bandung. Penelitian ini menggunakan teknologi canggih seperti metoda penanggalan pentarikhan radiometri dengan isotop C-14 dan metode U/Th disequilibirum. Dam melakukan pengamatan terhadap perlapisan endapan sedimen Danau Bandung dari 2 lubang bor masing-masing sedalam 60 m di Bojongsoang dan sedalam 104 m di Sukamanah; melakukan pentarikhan dengan metoda isotop C-14 dan 1 metoda U/Th disequilibirum; dan pengamatan singkap dan bentuk morfologi di sekitar Bandung. Berbeda dengan Sunardi (1997) yang mendasarkan penelitiannnya atas pengamatan paleomagnetisme dan pentarikhan radiometri dengan metode K-Ar. Simpulan penting adalah bahwa pentarikhan kejadian-kejadian ini jauh lebih tua daripada diperkirakan oleh van Bemmelen (1949), kecuali periode pembentukan Gunung Sunda Purba serta kejadian-kejadian sebelumnya. Keberadaan danau purba Bandung dapat dipastikan, bahkan turun naiknya muka air danau, pergantian iklim serta jenis floranya dapat direkam lebih baik (van der Krass dan Dam, 1994). Hasil yang diperoleh, pembentukan danau Bandung bukan disebabkan oleh suatu peristiwa ledakan Gunung Sunda atau Tangkuban Parahu, tetapi mungkin karena penurunan tektonik dan peristiwa denudasi dan terjadi pada 125 KA (kilo-annum/ribu tahun) yang lalu (Dam et al, 1996). Keberadaan Gunung Sunda Purba dipastikan antara 2 juta sampai 100 juta tahun yang lalu berdasarkan pentarikhan batuan beku aliran lava, antara lain di Batunyusun timur laut Dago Pakar di Pulasari Schol (1200 juta tahun), Batugantung Lembang 506 kA (ribu tahun) dan di Maribaya (182 dan 222 kA). Memang suatu erupsi besar kataklismik (cataclysmic) terjadi pada 105 ribu tahun yang lalu, berupa erupsi Plinian yang menghasilkan aliran besar dari debu panas yang melanda bagian baratlaut Bandung dan membentuk penghalang topografi yang baru di Padalarang, yang mempertajam pembentukan danau Bandung. Erupsi besar ini diikuti dengan pembentukan kaldera atau runtuhnya Gunung Sunda yang diikuti lahirnya Gunung Tangkuban Parahu beberapa ratus atau ribu kemudian, yang menghasilkan aliran lava di Curug Panganten 62 ribu tahun yang lalu, sedangkan sedimentasi di danau Bandung berjalan terus. Suatu ledakan gunung api cataclysmic kedua terjadi anatara 55 dan 50 ribu tahun yang lalu, juga berupa erupsi Plinian dan melanda Bandung barat laut, sedangkan aliran-aliran lava di Curug Dago dan Kasomalang (Subang), terjadi masing-masing 41 dan 39 ribu tahun yang lalu. Sementara itu, sedimentasi di Danau Bandung berjalan terus, antara lain pembentukan suatu kipas delta purba yang kini ditempati oleh Kota Bandung pada permukaan danau tertinggi. Akhir dari Danau Bandung pun dapat ditentukan pentarikhannya yaitu 16 ribu tahun yang lalu. Meneropong Gunung Tangkuban Perahu memakai Teleskop Bumi sangat mengasikkan, kita bisa melihat alur-alur lembah nan hijau dengan sangat jelas. “Wow !” deretan pohon Pinus berjajar di sisi hamparan kebun Teh yang terhampar luas bak permadani yang sangat indah. Gunung Tangkuban Perahu memang unik bentuknya, seperti sebuah perahu raksasa tapi dengan posisi tertelungkup. “Kira-kira seberapa panjang dan lebarnya ya ?” yang pasti sangat besar. Kalau sebesar itu perahunya tentu yang membuatnya dahulu adalah seorang Satria yang Sakti Mandraguna. Bisa kita bayangkan suasana zaman dahulu itu seperti apa ya ? Tentu kalian ingin mengetahui lebih jauh bukan, untuk itu kita simak kisah serunya : Sebenarnya Gunung Tangkuban Perahu adalah salah satu Sisa letusan gunung purba yang sangat besar kala itu. Gunung itu dahulu disebut Gunung Sunda yang meletus pertama kali sekitar 105.000 tahun yang lalu. Sekitar 55.000 sampai 50.000 tahun yang lalu Gunung Sunda meletus untuk keduakalinya, nah letusan yang kedua ini menjadikan Gunung Sunda terpecah menjadi tiga Gunung yang lebih kecil, Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Burangrang dan Gunung Bukittunggul. Tahukah kalian bahwa saat itu dataran Gunung Sunda Purba telah dihuni oleh manusia purba. Homo Sapiens dan Manusia Jawa (Wajak) yang hidup antara 50.000 sampai 62.000 tahun yang lalu, katanya merekalah yang tinggal di lereng dan lembah Gunung Sunda purba. Apakah ada kaitannya dengan nama suku di Jawa Barat yaitu suku Sunda ? Teman-teman, Sunda sebenarnya berasal dari kata “Su” yang berarti abadi atau sejati, “Na” yang berarti api dan “Da” yang berarti besar atau agung. Sunda berarti “Api Abadi yang Agung” tak lain adalah Matahari sebagai penyokong kehidupan manusia. Matahari adalah lambang Hyang agung yang berada di langit. Banyak yang menamakan Sunda sebagai : pemberi kehidupan, Hyang Manon (di Mesir), Guru Hyang, Guring (Sangkuriang), Su-ra. Sunda zaman dahulu adalah sebuah ajaran agama yaitu agama Matahari. Konon di tatar Jawa Barat Agama Sunda pertama dianut manusia yang selanjutnya berkembang ke Mesir dan berbagai benua kala itu. Kita mengenal sekarang suku Sunda tinggal di bumi Parahyangan, “Pa” berarti tempat, “Ra” berarti Matahari dan “Hyang” berarti leluhur, jadi “Parahyangan” berarti “Tempat Para Leluhur”. Agama Sunda saat itu mengajarkan cinta kasih dan rasa syukur berterima kasih atas karunia, oleh karena itu Agama Sunda mengajarkan diadakan upacara Bende-Ra (Panji Matahari) yang disertai sesajian kepada Sang Hyang (para leluhur). Penghormatan kepada Matahari mereka simbolkan pada bangunan unik seperti Pepunden Berundak, Candi, Pyramid, obelish yang semua puncak bangunannya menunjuk ke atas yaitu Matahari. Bahkan dalam upacara tersebut juga sering dibuat Sang-Hu-Tumpeng, yaitu nasi yang dibentuk kerucut lancip keatas yang juga menghormati Matahari. Jadi Sunda awalnya adalah Agama Matahari tertua di bumi teman-teman, bukan suku atau ras manusia. Sopan-santun juga adalah salah satu ajaran Agama Sunda. Bukankah suku Sunda sangat terkenal dengan keramahan dan sopan-santunnya teman-teman ! Itulah sisa-sisa Agama Sunda Purba yang masih dipegang sebagai taradisi budaya mereka. Kembali ke Gunung Sunda Purba, Gunung tersebut dahulu berada disisi Danau yang sangat luas. Danau yang luas itu tentu juga sangat dalam. Danau itu memang ada lo ! Bukti yang masih bisa kita lihat bersama adalah adanya Gunung-Gunung Kapur di daerah Padalarang sebelah Barat Bandung. Kapur itu terbentuk dari cangkang hewan-hewan air yang bertumpuk dan mengendap selama ribuan tahun. Dari Padalarang melewati Cianjur hingga ke Sukabumi banyak ditemukan fosil-fosil hewan laut, karena memang Danau Purba itu dahulu mengalir melewati daerah-daerah tersebut menuju lautan Pelabuhanratu Sukabumi. Danau itu terbentuk sekitar 125.000 tahun yang lalu dan mengering 16.000 tahun yang lalu. Sudah lama sekali ya ! Setelah Gunung Sunda meletus dan salah satunya menyisakan Gunung Tangkuban Perahu, pantas jika ada perahu terbalik di tepi Danau bukan ? Nah ada Legenda lama yang turun-temurun telah diceritakan di tengah-tengah masyarakat Sunda, Legenda Sangkuriang. Tentu kalian telah atau sering mendengar kisahnya, sepertinya antara Gunung Tangkuban Perahu dan Sangkuriang tidak bisa dipisahkan dalam Legenda itu. Melihat cerita diatas legenda sangkuriang menyiratkan sebuah fakta akan terbentuknya suatu wilayah bukan.

0 komentar:

Posting Komentar